loading...
DSSC atau Dye Sensitized Solar Cell, merupakan salah satu varian sel surya generasi terbaru. Sel Surya ini bekerja pada daerah sinar visible atau sinar tampakPanel DSSC, rentang kerja yang lebih luas mencakup daerah sinar tampak, diharapkan akan memiliki efisisensi yang lebih baik dari sel surya konvensional | Courtesy: rsc.org
Bahan bakar fosil merupakan salah satu sumber energi yang banyak digunakan untuk menunjang kehidupan manusia. Kendaraan bermotor dan pembangkit tenaga listrik merupakan contoh sektor pengguna bahan bakar fosil atau hasil distilasi minyak bumi secara masiv. Penggunaan yang terus menerus dengan gradien konsumsi yang terus meningkat menyebabkan bahan bakar fosil diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 100 tahun ke depan. Dibutuhkan suatu alternatif sumber energi baru untuk menggantikan peranan sumber energi fosil tersebut.
Potensi penggunaan energi surya di Indonesia sangat menjanjikan. Indonesia merupakan negara tropis yang terletak di garis lintang 0 derajat atau Khatulistiwa. Suatu wilayah dengan tingkat intensitas penyinaran paling tinggi di permukaan bumi. Total intensitas penyinaran rata-rata di negara ini sebesar 4.500 Wh/m2-hari di kawasan Indonesia barat (KBI) dan 5.100 Wh/m2-hari di kawasan Indonesia Timur (KTI) di mana nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Jepang yang total intensitas penyinaran hanya 150-180 Wh/m2-hari.
Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) atau sel surya tersensitasi zat warna, disebut juga dengan sel surya organik, merupakan sel surya dengan terobosan baru dalam komponen dan cara kerjanya. Jika sel surya pada umumnya seperti sel surya silikon yang umum digunakan bekerja pada daerah sinar ultra violet (UV) maka DSSC yang merupakan sel fotoelektrokimia bekerja pada daerah sinar tampak atau visibel. Perlu diketahui tidak seperti sinar visibel, sebagian sinar UV telah disaring di lapisan ozon, sehingga intensitas yang sampai ke permukaan bumi hanya sedikit. DSSC ini pertama kali dikembangkan oleh Michael Gratzel dan Brian O’Regan pada tahun 1991 di École Polytechnique Fédérale de Lausanne, Swiss.
Bagaimana cara kerja dari DSSC tersebut? berikut ini penjelasan singkatnya. DSSC merupakan suatu jenis varian sel surya baru yang murah dan simpel, sehingga sangat menjanjikan untuk dikembangkan menjadi pembangkit tenaga listrik masa depan. Suatu modul DSSC, dapat berfungsi dengan baik karena adanya interaksi antara anoda (transparent or electrode atau elektroda kerja) dan katoda (counter electrode atau elektroda lawan), titanium dioksida (TiO2) nanopartikel yang telah terlapisi material sensitif cahaya tampak dan dikelilingi oleh elektrolit. Anoda merupakan suatu material transparan seperti gelas atau material lainnya di mana sinar matahari dapat terserap pada bagian dalam sel surya. Di antara anoda dan katoda, terdapat TiO2 nanopartikel yang berfungsi sebagai jalan bagi elektron yang mengalir di dalam sel. TiO2 dilapis dengan suatu zat warna yang dapat berinteraksi dengan sinar matahari (tampak) yang bertugas mengkonversi foton (cahaya) menjadi elektron (arus listrik). Elektrolit biasanya berupa senyawa iodida, bertugas mengisi ruang kosong di antara partikel TiO2 dan memfasilitasi proses tansfer elektron dari katoda ke zat warna setelah zat warna tersebut melepaskan elektron, di mana pelepasan elektron tersebut membutuhkan pengganti elektron baru. Bagian terakhir dari sel surya ini adalah katoda, biasanya berupa grafit atau platina. Elektron mengalir dari anoda, melewati kabel atau sirkuit eksternal menuju ke katoda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.
Prinsip Kerja DSSC | Courtesy: Public web
Dye atau zat warna yang digunakan biasanya adalah zat warna sintetik kompleks ruthenium. Kompleks ruthenium dipilih karena memiliki gugus karboksilat sehingga dapat berikatan sempurna dengan semikonduktor TiO2. Ikatan tersebut memberikan efek elektron yang mengalir baik tanpa harus melakukan lompatan sehingga hambatan aliran elektron menjadi lebih kecil. Pada awal pengembangannya, Michael Gratzel menghasilkan DSSC dengan efisiensi konversi energi sebesar 7,9% menggunakan zat warna sintetik kompleks ruthenium tipe N3.
Tentu saja, zat warna sintetik seperti kompleks ruthenium berharga relatif mahal dengan proses fabrikasi yang sulit. Eksplorasi zat warna alam pun gencar dilakukan untuk mencari alternatif senyawa kromofor alami yang memiliki performa sama atau bahkan lebih baik dari pada zat warna kompleks ruthenium. Klorofil, xantofil dan antosianin merupakan contoh zat warna alam yang menjadi pusat kajian karena kemampuannya dalam memanen cahaya pada proses fotosintesis. Selain itu, masih banyak zat warna alam lainnya yang dapat dijadikan kandidat pengganti zat warna sintetik. Moifikasi zat warna alam mungkin perlu juga untuk dilakukan, mengingat zat warna alam sangat tidak stabil atau mudah mengalami oksidasi setelah diekstrak.
Sel Surya semokonduktor silikon, bekerja pada daerah sinar UV | Courtesy: linesolar.com
loading...
0 Response to "DSSC, Sel Surya Yang Meniru Fotosintesis Pada Tumbuhan"
Posting Komentar